Posted by : Unknown
Kamis, 08 September 2016
Langkah
Yang Salah
Hai, aku Reina Sintya. Disini aku ingin menceritakan salah
satu kisah ku. Waktu itu aku adalah murid baru di salah satu sekolah tingkat
atas. Di sekolah baruku, aku sama sekali belum mengenal sifat mereka satu
persatu. Di sanalah ceritaku di mulai…
Awal sekolah awal pula bertemu teman baru. Aku memulai hariku
dengan berkenalan. Ku pandangi mereka, ku coba menerka sifatnya dari cara
bicara, gerak-gerik dan pandangan matanya. Ada yang santai, ada yang tidak mau
mengalah, tapi juga ada yang sangat ramah. Mereka berbeda-beda. Seperti
pelangi, warnanya tak senada namun disitulah indahnya. Tapi ada salah seorang
yang dari awal berkenalan raut wajahnya sudah sangat tidak menyenangkan hati.
Namanya Desi. Kulitnya sawo matang dan badannya pendek. Nampaknya dia memang
sudah tidak suka padaku. Setiap bincang mulai, nada bicaranya selalu
menyinggung. Tak jarang ia melontarkan kata-kata kasar setiap aku mengajaknya
bicara. Aku diam saja… Hanya batinku yang berbicara. Sifatnya sangat abstrak.
Hanya karena putus cinta ia pernah menangis histeris di depan teman-temannya.
Dan suara teriakannya itu dari lorong sekolah terdengar sampai ke kelas 7 C.
Padahal jarak lorong dengan kelas 7 Ckira-kira hampir 100 meter. Wah ,,, hebbat
kan… Abstrak…..
Suatu ketika, dia histeris lagi saat Deva anak kelas sebelah
lewat di hadapan nya.Deva, badannya tinggi besar, tegap dan kulitnya putih.
Ooooh jadi dia naksir sama si Deva… Dengan bangganya ia menyebut Deva ini
“pujaan hati”. Setiap bertemu Deva, dia salah tingkah. Padahal sama sekali dia
belum pernah berbincang apalagi kenalan. Boro-boro berbincang, kelasnya
sebelahan aja Deva nggak kenal sama Desi… hahhahahah… Perut ku sampai sakit
kalau ingat-ingat Desi yang sangat PD itu…
Singkat cerita ya… kita loncat ke cerita di 2 tahun kemudian.
Sifat Desi ternyata awet sampai berjalan 2 tahun lho geng’s… Dari awal masuk
“MOS” sampai pertengahan sekolah sifatnya nggak berubah sama sekali. Dia tetep
aja benci banget sama aku. “Dosa apa sampai punya satu teman seperti dia…”. Aku
kadang heran, awal ketemu aja dia sudah menabuh genderang perang, ya okelah aku
ngalah.. Tapi kesabaran ku juga ada batasnya. Pernah aku merasa sangat dendam
karena perlakuannya.
Dua tahun dia memuja-muja Deva. Berkali-kali dia pacaran tapi
cuma putus nyambung. Mungkin itu karena hatinya Cuma ingin Deva tapi dapatnya
orang lain.“Hanya seorang Deva kok bisa membuat si Desi the stone head ini jadi
luluh…???”. Terlintas di pikiran ku untuk usil. “Kalau pujaan hatinya itu
sampai di tanganku, apa kata dunia bagi Desi… hahhahahaha”,(tertawa jahat).
Pada awal bulan Mei, pemilu osis di mulai pagi itu. Tak
sengaja aku duduk persis di depan bangku Deva. Dari situ, dia sedikit bertanya
soal kandidat-kandidat osis. Bincang pun menjadi awal perkenalan. Semenjak itu
setiap kali bertemu, dia senyum padaku walau jarak pandangnya hanya dari jauh.
Aku menangkap ada yang berbeda dari caranya memandangku. Aku tahu bahwa
sepertinya dia suka padaku. Tawa kecil muncul dari dalam benakku.” Inikah yang
namanya kemenangan?”,ujarku. 2 tahun Desi jungkir balik ngefans sama Deva, aku
yang hanya dalam waktu kurang dari 2 jam saja bisa menarik perhatian si do’i.
Sombong dikit boleh lah………….
Hampir 4 bulan aku dan Deva hanya saling bertatap muka serta
saling melempar senyuman dan sesekali ngobrol di sela sapa menyapa. Setelah itu
waktu pulang sekolah, ada suara motor menghampiri langkahku. Ternyata itu
Deva!!!.. Dia menawarkan tumpangan. Tapi aku menolaknya. Dia pun
memaksa,”sudahlah jangan sungkan-sungkan,sekalian kan juga sejalan”, katanya.
Lagi-lagi tawa kecil menggelitik perutku. Aku pun menerima tawarannya. Di
perjalanan dia aktif bertanya alias ngajak ngobrol. Jadi kita keliatan
akrab..hehehee… Sampai di pertigaan aku minta turun. Karena aku tahu dari
pertigaan itu arah ke rumahnya berlawanan dengan arah ke rumahku. Tapi dia
tetap jalan dan malah mengantarku sampai depan rumahku. Yaaa kebeneran
lah..jadi aku nggak usah repot-repot jalan lagi… Hihihi.
Hari demi hari ku lewati. Biasa saja.. Desi pun tak tahu
bahwa Deva mulai akrab denganku. Lama kelamaan Desi curiga padaku. Karena Deva
selalu senyum saat bertemu denganku. Jujur sebetulnya aku sama sekali tidak
menaruh hati pada Deva. Apalagi suka, tentu saja tidak. Ya biasa saja. Tapi
dengan mendekat di Deva bisa melampiaskan kesalku pada Desi. Jadi kujalani
sekenario ku dengan santai.
Sampai di suatu pagi
yang cerah saat hari libur tanpa diduga Deva datang kerumahku untuk sekedar
mampir. Dari sejak saat itu dia sering main ke rumahku,hanya ngobrol atau
mengerjakan tugas bersama. Tapi ujung-ujungnya juga banyak bercandanya dari
pada mengerjakan tugasnya. Sesekali dia memintaku untuk menemaninya mencari
bahan tugas paktikumnya. Kebetuan dia jurusan elektro jadi sering praktek. Itu
juga jadi alasan dia untuk mengajakku keiling-keliling mencari keperluan
prakteknya. Kami sering pergi bersama. Pancaran cinta dari matanya semakin
kuat. Aku sebenarnya risih,karena aku nggak ada rasa padanya. Namun lambat laun rasa suka itu mulai muncul.
“Gawat ini, padahal aku kan hanya ingin iseng-iseng saja.,,,”.
Baru setelah 5 bulan semakin dekat, Deva menyatakan cintanya.
Aduh aku jadi bingung. Di saat itu pula Desi tahu kedekatan ku dengan Deva yang
sudah berjalan hampir setahun. Dia marah besar, Tapi marahnya tertimbun dengan
rasa malunya. Dia tak pernah marah dihadapanku. Dia hanya menyindir-nyindir ku
saja… Semakin tajam kata-katanya. Biarlah..tapi kan,,, “……Aku menang
hahhhahah”.
Setahun sampai hampir ujian ku jalani kisah yang sebenarnya
dengan Deva. Tapi di situlah aku tahu sifat aslinya. Ternyata dia tidak sebaik
nampaknya. Hampir aku terjerumus dengan tutur kata manisnya. Di saat aku
benar-benar jatuh hati padanya, mataku di buka leba-lebar untuk mengambil
langkah mundur sejauh-jauhnya dari kisah salah itu. Cinta yang mulai tumbuh
harus layu sebelum berkembang. Kayak lagu jadul tuh… Dan inilah akhir kisah
yang seharusnya tidak pernah ada jika aku tak membangun sekenario bak sutradara
tak bernama. Amarah ku membakar akal sehatku. Itu semua karena Desi yang
angkuh. Coba kalau dia tidak pernah ada di muka bumi ini, mungkin aku tak kan
terjerat dalam sandiwarayang amburadul ini. Tapi ya sudahlah… Juga sudah bukan
saatnya aku memikirkan semua itu. Itu ku anggap hanya sebagai pengalaman saja.
Toh aku juga nggak dapat apa-apa. Hanya dapatkepuasan karena telah menyayat
hati Desi dengan sangat rapi.Tapi kasihan juga dia…
Waktu terus berjalan. Ujian adalah fokus utama ku. Sejak saat
itu, tiap bertemu Deva aku dan dia saling memalingkan wajah. Sedangkan Desi,
dia sudah jarang muncul dengan mulut pedasnya. Semua sibuk persiapan menghadapi
ujian. Sampai waktu ujian tiba dan kita semua lulus. Desi mulai luluh hatinya
setelah dia menemukan pengganti Deva. Mungkin juga karena setelah lulus
kan belum tentu kita semua sering
bertemu, jadi rasa bersalah yang ada di angan nya. Kini kita jalan
masing-masing. Sebelum perpisahan, Desi meminta maaf padaku.Sepertinya dia
menyadari bahwa tingkahnya selama 3 tahun itu sudah melukai hati banyak orang
termasuk aku. Kami pun saling bermaaf-maafan kayak lebaran gitu… Mungkin inilah
hidayahnya. Baru tampak setelah ujian selesai. Mana ujian nya rangkap lagi…
ujian sekolah plus ujian kehidupan ABG. Halah-halah…..haha…
Itulah kisah ku, kisah yang tak kan pernah terlupakan.
Masa-masa putih abu-abu yang agak kelabu, hampir seperti sinetron ya… Tapi ini
lah nyatanya. Memang sedikit berkelit. Ya…intinya,jangan membalas perbuatan
buruk dengan buatan buruk pula. Karena jika kita berbuat buruk untuk membalas
dendam, berarti kita sama buruknya dengan orang itu. Dari kisah ini lah aku
belajar ikhlas. Dan, “Hati-hati, jangan bermain api…”.